Critical Review Jurnal Ekonomi dan Bisnis Islam Pengaruh Kualitas Penerapan Good Corporate Governance (GCG) terhadap Kinerja Keuangan pada Bank Umum Syariah di Indonesia ( Periode 2010-2015)
Pengaruh Kualitas Penerapan Good Corporate Governance (GCG)
terhadap Kinerja Keuangan pada Bank Umum Syariah di
Indonesia
( Periode 2010-2015)
Disusun Untuk Memenuhi Tugas Mata Kuliah
Seminar Akuntansi Keuangan
Nama Dosen
: Ratih
Qadarti Anjilni S.E.,M.Ak.
Disusun
Oleh :
Ernaewati Nim
: 171011202256
Nurmala Sari Nim : 171011202266
FAKULTAS EKONOMI
PROGRAM STUDI EKONOMI AKUNTANSI S1
UNIVERSITAS PAMULANG
2020
CRITICAL REVIEW
JURNAL EKONOMI
DAN BISNIS ISLAM
Judul Jurnal :
Pengaruh Kualitas Penerapan Good
Corporate Governance
(GCG)
terhadap
Kinerja Keuangan pada Bank Umum Syariah di Indonesia
(
Periode 2010-2015)
Penulis :
Angrum Pratiwi ( Fakultas Ekonomi dan Bisnis Islam IAIN
Samarinda)
Publikasi : Jurnal Ekonomi dan Bisnis
Islam
Volume 2, Nomor 1, Hal 55-76, tahun 2016
Reviewer :
Ernaewati (171011202256) dan Nurmala Sari (171011202266)
BAB I
PENDAHULUAN
Munculnya
krisis ekonomi finansial yang terjadi
di Asia sejak tahun 1997, diawali dari krisis Jepang
pada tahun 1990 yang sangat
mempengaruhi kinerja dari negara- negara di kawasan Asia, salah satunya
Indonesia. Isu penerapan seputar Good Corporate Governance menyertai munculnya
krisis tersebut, sebagai alasan utama terjadinya krisis ekonomi se-Asia yang
telah dikemukakan oleh Sachs (1998) dalam Muhaimin (2009:105). Good Corporate
Governance (GCG) pada dasarnya merupakan sistem yang mengatur, mengelola, dan
mengawasi proses pengelolaan usaha untuk melancarkan hubungan antar manajemen,
pemegang saham, dan pihak lainnnya yang berkepentingan, tujuannya untuk
menciptakan nilai tambah bagi perusahaan. Dalam aspek yang lebih luas penerapan
prinsip GCG untuk memperoleh kepercayaan dari masyarakat sekitar. Keberhasilan
penerapan GCG, ketika perusahaan mampu menjalankan fungsi akuntabilitas,
fairness, transparency, tanggung jawab, dan independensi secara menyeluruh di
setiap bagian dalam perusahaan (Tangkilisan , 2003:10).
Hasil
penelitian yang dilakukan oleh McKinsey & Company, yang melibatkan investor
di Asia, Eropa, dan Amerika terhadap lima negara di Asia. Ditemukan bahwa,
Indonesia menduduki posisi paling terakhir dalam pelaksanaan GCG. Survei lain
yang dilakukan oleh Political and Economic Risk Consultancy (PERC) menunjukkan hasil yang tidak jauh berbeda.
Lembaga yang bermarkas di Hongkong ini setiap tahun menerbitkan hasil
penelitian mengenai skor peringkat GCG di Asia (Sutedi, 2011: 65). Berdasarkan
survei PERC, Indonesia menempati posisi tiga terbawah negara Asia dalam
menerapkan GCG di Asia. Pengelolaan perusahaan di Indonesia lebih buruk dari
negara Asia Tenggara lainnya, seperti Singapura, Malaysia, Filipina, dan
Thailand yang terlihat pada tabel dibawah ini:
Tabel 1
|
Negara
|
Skor
|
Singapura Hongkong Jepang
Filipina Taiwan Malaysia Thailand Cina Indonesia Korea Selatan
Vietnam
|
2,00
3,59
4,00
5,00
6,10
6,20
6,67
8,22
8,29
8,83
8,89
|
Sumber:
PERC (2000) dalam Sutedi (2011: 65)
Melihat fenomena tersebut pemerintah indonesia
bekerjasama dengan International Monetary Fund (IMF) memperkenalkan konsep Good
Corporate Governance sebagai tata cara pengelolaan usaha yang sehat dalam
rangka economy recovery. Untuk mewujudkan hal tersebut, pada tahun 1999 telah
berdiri sebuah lembaga non- pemerintah yaitu Komite Nasional bagi Pengelolaan
Perusahaan (KNPP) yang baik. Tugas komite adalah merumuskan dan
merekomendasikan kebijakan nasional mengenai pengelolaan perusahaan yang baik
bagi dunia usaha Indonesia. Dengan ini diharapkan economy recovery di Indonesia
dapat segera terlaksana guna meningkatkan perekonomian dan kesejahteraan
masyarakat (Surtedi, 2011: 72).
Bank salah satu komponen dalam perekonomian
suatu negara yang berperan penting dalam pertumbuhan ekonomi, dimana bank
melibatkan banyak pihak dan dihadapkan pada banyak risiko dalam praktiknya.
Disisi lain bank harus memiliki kemampuan menjaga kepercayaan para
stakeholders, investor dan masyarakat terhadap bank, untuk itu penerapan GCG
kepada dunia perbankan perlu agar berdampak jangka panjang dan mendasar
(Zarkasyi, 2008: 112). Dalam mendukung hal tersebut,
Bank Indonesia telah menetapkan peraturan tentang pelaksanaan Good Corporate
Governance bagi perbankan di Indonesia, maka dikeluarkannya Peraturan Bank
Indonesia No. 8/4/PBI/2006 tanggal 30 Januari 2006, tentang Pelaksanaan Good Corporate Governance bagi Bank Umum
dan mulai berlaku sejak tanggal 5
Oktober 2006. Hal ini didasarkan pada peningkatan kualitas pelaksanaan GCG merupakan salah satu upaya untuk
memperkuat kondisi internal perbankan nasional sesuai dengan visi Arsitektur Perbankan Indonesia (API),
yaitu menciptakan sistem perbankan yang sehat,
kuat, dan efisien guna menciptakan
kestabilan sistem keuangan dalam rangka membantu pertumbuhan ekonomi nasional (Peraturan Bank Indonesia, 2006: 1).
Dalam Cetak Biru Pengembangan Perbankan Syariah tahun 2007, terdapat enam
pilar pengembangan perbankan syariah di Indonesia. Salah satunya adalah
menciptakan industri perbankan syariah yang kuat, strategi untuk mendukung
pilar tersebut yaitu dengan menerapkan GCG dalam sistem operasional perbankan
syariah (Cetak Biru Pengembangan Perbankan Syariah, 2007: 16-18). Sesuai dengan
pilar tersebut, Bank Indonesia mengeluarkan peraturan No. 11/33/PBI/2009
tanggal 7 Desember 2009 tentang pelaksanaan Good Corporate Governance khusus
bagi Bank Umum Syariah dan Unit Usaha Syariah dan mulai berlaku pada tanggal 1
Januari 2010. Latar belakang PBI GCG bagi BUS dan UUS ini dilandasi
pertimbangan bahwa pelaksanaan GCG didalam industri perbankan syariah harus
menerapkan prinsip syariah (sharia compliance), yang tercermin dengan adanya
tugas dan tanggung jawab Dewan Pengawas Syariah (DPS) dalam pengelolaan BUS dan
UUS (Frequently Asked Question, 2010: 1). Kinerja perusahaan dapat dilihat dari
aspek keuangan melalui laporan keuangan yang menggambarkan bagaimana
keberhasilan kinerja keuangan suatu perusahaan. Alat ukur yang digunakan untuk
mengukur kinerja keuangan salah satuya adalah dengan melakukan suatu teknik
analisis rasio. Kinerja keuangan dengan menggunakan berbagai rasio keuangan
masih menjadi ukuran penilaian kinerja perusahaan yang paling banyak digunakan
(Supatmi, 2007: 186). Berdasarkan Surat Edaran Bank Indonesia No.9/24/DPbS
tahun 2007, perihal Sistem Penilaian Kesehatan Bank Umum Berdasarkan Prinsip
Syariah. Terdapat enam faktor penilaian kesehatan yang meliputi faktor permodalan
(capital), kualitas aset (assets quality)
manajemen (management), rentabilitas (earning), likuiditas (liquidity), dan
sensitivitas terhadap risiko pasar (sensitivity to market risk). Untuk mengukur
masing- masing faktor digunakan teknik analisis rasio yang menggambarkan
penilaian dari setiap faktor (Surat Edaran Bank Indonesia, 2007: 3). Terdapat beberapa penelitian mengenai pengaruh penerapan GCG terhadap kinerja keuangan. Penelitian
yang dilakukan Purba (2011), mengenai pengaruh GCG terhadap kinerja keuangan
pada 30 perusahaan perbankan yang terdaftar di Bursa Efek Indonesia menunjukkan bahwa penerapan GCG berpengaruh signifikan terhadap rasio BOPO dan ROE, dan GCG tidak berpengaruh signifikan terhadap rasio CAR, ROA, LDR, dan NIM. Penelitian lainnya dilakukan oleh Trinanda dan Mukodim(2010) yang menemukan bahwa skor Corporate Governance berpengaruh
signifikan terhadap rasio ROE, ROI, ROA, dan NPM pada perusahaan perbankan yang terdaftar dalam Corporate Governance Perseption Index. Penelitian yang dilakukan
Syam dan Nadja (2012) melihat pengaruh
kualitas penerapan GCG terhadap kinerja keuangan pada tujuh bank umum syariah
di Indonesia. Hasilnya menunjukkan bahwa kualitas penerapan GCG tidak
berpengaruh signifikan terhadap ROA dan kualitas penerapan GCG berpengaruh
signifikan terhadap NPF. Penelitian yang dilakukan
Zamani dan Moeljadi (2012), hasilnya menunjukkan bahwa terdapat perbedaan yang
signifikan terhadap rasio ROA, ROE, NPM, dan CAR setelah diterapkannya
prinsip-prinsip GCG. Penelitian yang dilakukan Riandi & Siregar (2011) dan
Sayidah (2007), menemukan bahwa GCG tidak berpengaruh
terhadap ROA pada perusahaan yang terdaftar di Coporate Governance Perception Index.
Sesuai pemaparan isu diatas dan
keberagaman hasil penelitian terdahulu,
timbul ketertarikan penulis untuk melakukan sebuah penelitian bagaimana pengaruh kualitas penerapan GCG pada bank umum syariah di Indonesia. Penelitian
ini menguji
apakah terdapat pengaruh antara penerapan
GCG terhadap kinerja keuangan pada bank umum syariah. Indikator pengukuran
kinerja keuangan mengacu kepada
penelitian terdahulu, sehingga rasio keuangan yang
digunakan yaitu, rasio permodalan (CAR), aktiva produktif (NPF), rasio
rentabilitas (ROA, ROE,NIM, dan BOPO), serta rasio likuiditas (FDR).
Akhirnya dapat penulis simpulkan
bahwa penilaian kinerja sebuah bank tidak cukup jika dinilai dari aspek keuangan saja, namun aspek non-keuangan menjadi perhatian
penting saat ini, salah satunya dari penerapan GCG pada sistem operasional
bank. Bank merupakan lembaga yang
tergantung kepada dana dan
kepercayaan (trust) masyarakat dengan
banyaknya risiko internal atau eksternal serta banyaknya aturan yang mengatur
sektor perbankan (highly regulated)
(Zarkasyi, 2008: 3). Penerapan GCG
sudah menjadi keharusan dalam
industri perbankan khususnya perbankan syariah saat ini, guna mewujudkan
kondisi keuangan yang sehat, kondusif dan sesuai prinsip syariah (sharia compliance). Keadaan tersebut
semakin meningkatkan kebutuhan akan praktik tata kelola perusahaan (GCG) yang
berkualitas di perbankan. Dengan demikian penulis mengangkat suatu tema
penelitian yang berjudul “Pengaruh Kualitas Penerapan Good Corporate Governance Terhadap Kinerja Keuangan Pada Bank Umum
Syariah Di Indonesia (Periode 2010-2015)”. Tujuan penelitian ini adalah;
Untuk mengetahui kualitas penerapan good corporate governance pada bank umum syariah di Indonesia: Untuk mengetahui
kualitas penerapan good corporate governance secara parsial
berpengaruh terhadap kinerja keuangan yang diukur dengan rasio CAR, NPF, ROA,
ROE, NIM, FDR, dan BOPO pada bank umum
syariah di Indonesia. LANDASAN TEORI DAN PENGEMBANGAN HIPOTESIS
Pengertian
Kualitas Penerapan
Pengertian kata
kualitas menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (2002: 603) adalah tingkat baik buruknya
sesuatu, kadar, derajat atau taraf. Kata penerapan sendiri berasal dari kata
“terap” yang mendapat imbuhan kata
“pe-an”. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (2002: 1180), kata penerapan diartikan sebagai suatu proses, cara,
perbuatan menerapkan atau mempraktikkan. Kata penerapan memiliki pengertian
yang sama dengan kata implementasi, yaitu pelaksanaan atau penerapan (Kamus
Besar Bahasa Indonesia, 2002: 427).
Dari penjelasan diatas, dapat penulis simpulkan
pengertian “kualitas penerapan” dalam penelitian ini berarti mutu atau
tingkatan yang telah dicapai oleh bank umum syariah di Indonesia dalam
melaksanakan atau mengimplementasikan
prinsip-prinsip Good Corporate Governance
(GCG) atau tata kelola
perusahaan yang baik dalam sistem operasional
bank.
1.
Agency Theory
Teori agency muncul setelah ada fenomena pemisahan tugas
antara pemilik perusahaan (principal)
dengan pihak pengelola perusahaan (agent).
Pemilik perusahaan menginginkan keuntungan yang semaksimal mungkin dengan dikelolanya perusahaan oleh pihak manajemen. Menurut Sutedi (2010: 13-17) pemisahan ini
memiliki segi negatif, karena pihak pengelola bisa sangat leluasa mengelola perusahaan untuk memaksimalkan laba bagi kepentingan sendiri dengan beban
dan biaya yang harus ditanggung oleh pemilik
perusahaan.
GCG
adalah salah satu upaya untuk menjembatani konflik tersebut agar tidak menimbulkan dampak yang negatif bagi
perusahaan, baik jangka pendek maupun jangka panjang. Untuk membuat GCG
berfungsi dengan baik, terdapat empat kelompok yang harus saling berinteraksi
yaitu tersedianya undang-undang atau jaminan hukum
yang kuat, ditegakkannya
accountability, adanya fungsi
direksi dan manajer yang membantu direksi (Sutedi,
2010: 29).
Pengertian Good
Corporate Governance
Menurut Tangkilisan (2003:11) good
corporate governance (GCG) adalah sebuah sistem dan struktur untuk mengelola perusahaan dengan tujuan
meningkatkan nilai perusahaan serta mengalokasikannya ke berbagai pihak yang
berkepentingan seperti kreditor, supplier,
asosiasi usaha, konsumen, pekerja, pemerintah dan masyarakat luas. Hal senada
diungkapkan pula oleh Sutedi (2011: 58) GCG secara definisi merupakan sistem
yang mengatur dan mengendalikan perusahaan untuk menciptakan nilai tambah (value added) untuk semua pemegang saham
(stakeholders). GCG hanya dapat
tercipta apabila adanya keseimbangan antara kepentingan semua pihak dengan
kepentingan perusahaan untuk mencapai
tujuan perusahaan (Khairandy dan Malik, 2007:
73). Dari berbagai pengertian tersebut
GCG dapat diartikan sebagai tata kelola perusahaan yang baik dimana adanya sistem yang mengatur,
mengelola dan mengawasi proses pengendalian
usaha untuk menaikkan nilai perusahaan, sekaligus sebagai bentuk perhatian
kepada primary stakeholders dan secondary
stakeholders. Penerapan GCG ini harus
menjaga keseimbangan antara kedua belah
pihak sebagai dalam upaya untuk mencapai tujuan ekonomi dan kesejahteraan bersama. Implementasi GCG bagi dunia perbankan
harus memegang tiga prinsip utama yaitu kemandirian, integritas, dan
transparansi yang menjadi modal dasar menyelenggarakan bisnis perbankan secara efektif dan berkesinambungan
(sustainable) (Tangkilisan, 2003: 13). Struktur
Good Corporate Governance Perbankan
Pedoman good corporate governance (GCG) bagi
perbankan harus mengandung lima prinsip dasar yang telah diuraikan pada sub bab
sebelumnya. Menurut Zarkasyi (2008: 115-124) struktur governance bagi dunia perbankan secara umum mencakup beberapa bagian, yaitu sebagai berikut:
a.
Pemegang Saham, terdapat beberapa hal yang perlu diperhatikan dan dilaksanakan bagi pemegang saham, yaitu:
1)
Menggunakan
haknya sebagai pemegang saham dalam memilih
Dewan Komisaris dan Direksi.
2)
Mampu memenuhi
kebutuhan modal bank sesuai aturan yang berlaku.
Jika tidak mampu memenuhinya, pemegang saham bersedia menyetujui banknya
menyatu dengan bank lain.
3)
Melaksanakan GCG
sesuai wewenang dan tanggungjawab. Pemegang saham dilarang memanfaatkan bank untuk kepentingan pribadi, keluarga, atau
kelompoknya dan tidak mencampuri kegiatan operasional bank.
b.
Dewan Komisaris dan Direksi, secara hukum dewan komisaris
bertugas untuk melakukan pengawasan,
memberikan nasehat, dan masukan kepada direksi dengan memperhatikan semua kepentingan stakeholders sesuai asas kesetaraan.
Sesuai dengan ketentuan undang- undang
yang berlaku direksi bertanggung
jawab penuh atas pengelolaan
perusahaan serta mewakili perusahaan
baik didalam dan luar peradilan.
Direksi juga berkewajiban melaksanakan
ketentuan yang tercantum dalam visi,
misi, strategi, dan sasaran usaha bank.
c.
Dewan Pengawas Syariah (DPS), bagi bank yang
menjalankan kegiatan usaha berdasarkan prinsip syariah harus memiliki DPS. DPS bertugas memberikan pengarahan,
konsultasi, evaluasi, dan pengawasan
kegiatan operasional bank agar sesuai dengan prinsip Islam.
d.
Stakeholders
lainnya, stakeholders yang sangat penting bagi bank adalah deposan, penabung, pemegang giro, debitur, dan karyawan. Dalam hal ini bank harus menjamin pelaksanaan hak dan kewajiban stakeholders sesuai dengan
ketentuan yang berlaku.
Peraturan
Bank Indonesia Tentang Good Corporate
Governance bagi Bank Umum Syariah.
Bank Indonesia menerapkan peraturan baru dalam pelaksanaan penerapan GCG bagi
bank umum syariah (BUS). Bank
Indonesia telah mengeluarkan
peraturan No. 11/33/PBI/2009 tanggal
7 Desember 2009 dan Surat Edaran Bank Indonesia Nomor 12/13/DPbs tanggal 30
April 2010, tentang pelaksanaan GCG bagi Bank
Umum Syariah dan Unit Usaha Syariah.
Dalam frequently ask question (FAQ, 2009: 1)
disebutkan bahwa latar belakang
penyusunan PBI GCG untuk BUS dan UUS ini dilandasi
pertimbangan bahwa pelaksanaan GCG dalam
industri perbankan syariah harus memenuhi prinsip syariah (sharia compliance), yang dicerminkan dengan adanya pelaksanaan
tugas dan tanggungjawab Dewan
Pengawas Syariah (DPS) dalam mengelola kegiatan usaha BUS dan UUS, serta merupakan
amanah dari Pasal 34 UU No. 21 tahun 2008 tentang Perbankan Syariah. Dengan
berlakunya Peraturan Bank Indonesia ini, maka PBI No.8/4/PBI/2006 tanggal 30
Januari 2006 tentang Pelaksanaan Good
Corporate Governance bagi Bank Umum beserta ketentuannya dinyatakan tidak
berlaku bagi BUS dan UUS (Peraturan Bank Indonesia, 2009: 49).
Kualitas penerapan GCG diketahui
melalui nilai komposit self assessment dalam laporan GCG. Dalam Surat Edaran Bank Indonesia (2010:
21) penerapan GCG pada bank umum syariah
diimplementasikan ke dalam sebelas faktor dan bank wajib melakukan self
assessment atas pelaksanaan GCG
paling kurang satu kali dalam setahun, adapun sebelas
faktor tersebut yaitu:
a.
Pelaksanaan
tugas dan tanggung jawab Dewan Komisaris,
b.
Pelaksanaan
tugas dan tanggung jawab Direksi,
c.
Kelengkapan dan
pelaksanaan tugas komite,
d.
Pelaksanaan
tugas dan tanggung jawab Dewan Pengawas Syariah,
e.
Pelaksanaan
Prinsip Syariah dalam kegiatan penghimpunan dana dan, penyaluran dana serta pelayanan jasa,
f.
Penanganan
benturan kepentingan,
g.
Penerapan fungsi
kepatuhan Bank,
h.
Penerapan fungsi
audit intern,
i.
Penerapan fungsi
audit ekstern,
j.
Batas Maksimum Penyaluran Dana,
k.
Transparansi
kondisi keuangan dan non keuangan,
laporan pelaksanaan GCG dan pelaporan internal.
Tabel 2
Self Assessment GCG
Self Assessment GCG
Nilai Komposit Hasil Pelaksanaan
Nilai Komposit
|
Predikat
Komposit
|
Nilai Komposit
< 1,5
|
Sangat Baik
|
1,5 Nilai
komposit < 2,5
|
Baik
|
2,5 Nilai
Komposit < 3,5
|
Cukup Baik
|
3,5 Nilai
Komposit < 4,5
|
Kurang Baik
|
4,5 Nilai
Komposit 5
|
Tidak Baik
|
Sumber: Surat Edaran Bank Indonesia No. 12/13/DPbS (2010:23)
2.
Kinerja Keuangan & Rasio Penilaian
Menurut Purwadarminta
(2007) dalam Zarkasyi (2008: 48), kinerja
pada dasarnya merupakan sesuatu yang dihasilkan atau hasil kerja yang dicapai
dari suatu usaha. Sedangkan, pengertian kinerja perusahaan merupakan sesuatu
yang dihasilkan oleh organisasi dalam periode tertentu dengan mengacu
kepada standar yang telah ditetapkan. Dari penjelasan tersebut dapat
disimpulkan pengertian kinerja keuangan
adalah kemampuan kerja manajemen
keuangan dalam mencapai prestasi kinerjanya.
Rasio
keuangan bermanfaat untuk mengetahui efektivitas
perusahaan dalam mengelola sumber daya yang ada dalam perusahaan
(Laksmana, 2009: 119). Rasio keuangan yang digunakan pada penelitian ini
perpedoman pada peraturan Bank Indonesai yaitu Surat Edaran Bank Indonesia
No.9/24/DPbS tahun 2007, perihal
Sistem Penilaian Kesehatan Bank Umum Berdasarkan Prinsip Syariah. Penilaian
tersebut meliputi enam faktor, yaitu capital, assets, management, earning,
liquidity, dan sensitivity to market
risk.Adapun rasio yang digunakan Capital
Adequncy Ratio (CAR), Non Performing Financing (NPF), Return On Assets (ROA), Return
On Equity (ROE), Net Income Margin (NIM),
Financing Deposite Ratio (FDR), dan
rasio Biaya Operasional dan Pendapatan Operasional (BOPO) pada Bank Umum
Syariah.
3.
Pengertian dan
Fungsi Bank Umum Syariah
Dalam undang-undang No. 21 tahun 2008 tentang Perbankan Syariah,
disebutkan beberapa pengertian terkait perbankan syariah, yaitu:
Perbankan
Syariah adalah
segala sesuatu yang menyangkut tentang
Bank Syariah dan Unit Usaha Syariah, mencakup kelembagaan, kegiatan usaha, serta cara dan proses dalam melaksanakan kegiatan usahanya.
Bank Syariah adalah bank yang menjalankan kegiatan usahanya berdasarkan Prinsip Syariah dan menurut jenisnya terdiri atas Bank Umum Syariah dan Bank Pembiayaan
Rakyat Syariah. Prinsip Syariah adalah prinsip hukum Islam dalam
kegiatan perbankan berdasarkan fatwa yang dikeluarkan oleh lembaga yang
memiliki wewenang dalam penetapan
fatwa di bidang syariah.
Sesuai penjelasan diatas
pengertian Bank Umum Syariah adalah Bank Syariah yang dalam kegiatannya
memberikan jasa dalam lalu lintas pembiayaan berdasarkan prinsip hukum Islam. Adapun fungsi bank umum syariah dan unit usaha syariah sesuai
dengan Undang-Undang No. 21 tahun 2008,
yaitu memiliki kewajiban menjalankan fungsi dalam menghimpun dan menyalurkan
dana dari masyarakat. Selain itu, bank syariah dapat menjalankan fungsi sosial untuk menerima dana yang berasal dari
zakat, infak dan sedekah (ZIS) atau dana sosial lainnya.
1.
Hipotesis Penelitian
a.
Pengaruh
penerapan GCG terhadap rasio CAR
Modal merupakan faktor yang sangat penting bagi bank
dalam rangka mengembangkan usahanya. Rasio Capital
Adequancy Ratio (CAR) adalah rasio perbandingan modal dengan aktiva
tertimbang menurut risiko untuk menilai seberapa jauh aktiva bank mengandung
risiko ikut dibiayai dari modal bank. Bank harus menjaga kecukupan modal untuk
memenuhi kewajiban jangka panjang atau jangka pendek. Hal yang perlu
diperhatikan dalam rasio ini adalah mengetahui besarnya estimasi risiko yang
akan terjadi dalam pemberian pembiayaan (Rivai dan Arifin, 2010: 851).
Salah satu upaya untuk menciptakan tata kelola yang
baik (GCG) pada perbankan adalah pengelolaan terhadap risiko. Pengukuran risiko
dilakukan untuk mengantisipasi risiko yang terjadi dari operasi perbankan yang
semakin komplek dimasa mendatang. Hal ini dilakukan agar hasil penilaian risiko
dapat mencerminkan kondisi bank yang sebenarnya untuk kepentingan perhitungan
pasar yang terkait dengan perhitungan capital adequacy ratio (CAR) (Sutedi,
2011: 88). Dalam Basel Capital Accord I atau BASEL 1, disebutkan bahwa bank
harus mengetahui besarnya bobot risiko yang didasarkan pada risiko kredit atau
pinjaman dari kumpulan aset yang ada pada neraca bank, untuk itu perlu regulasi
agar risiko yang timbul tidak semakin besar (Hardanto, 2006: 19). Pernyataan
lain diungkapkan oleh Forum for Corporate Governance in Indonesia (FCGI) (2006)
dalam Ratih (2011), yang menyebutkan bahwa penerapan GCG memudahkan untuk
memperoleh modal, sehingga berpengaruh baik terhadap kinerja keuangan.
Berdasarkan uraian tersebut, GCG pada bank akan terlaksana dengan baik, ketika
pengelolaan terhadap risiko berjalan efektif dan akhirnya akan mempengaruhi
tingkat rasio CAR pada bank. Berdasarkan penjelasan tersebut, maka hipotesis
pertama yang diajukan adalah:
H1= Kualitas penerapan GCG berpengaruh positif
terhadap rasio CAR.
b.
Pengaruh penerapan GCG terhadap Rasio NPF
Rasio Non
Performing Financing (NPF) adalah perbandingan antara pembiayaan bermasalah
terhadap total pembiayaan yang disalurkan. Rasio NPF bertujuan untuk mengukur
tingkat pembiayaan bermasalah yang dihadapi oleh bank. Semakin tinggi rasio ini
menunjukkan kualitas pembiayaan pada bank semakin buruk (Surat Edaran Bank
Indonesia, 2007: 17).
Pada dasarnya bank sebagai penyalur dana memiliki kepentingan utama
untuk mendapatkan keuntungan maksimal dengan menekan seminimal mungkin risiko
kegagalan pengembalian pinjaman. Dengan adanya prinsip tersebut tentunya bank
menjadi lebih berhati-hati dalam menyalurkan dananya dengan memperhitungkan segala
kemungkinan yang terjadi. Keberadaan prinsip GCG menjadi penting, karena
prinsip ini akan membantu bank
dalam menjalankan prinsip yang telah ada dan mampu menjamin tingkat
pengembalian dana yang dipinjam serta memberikan keuntungan maksimal bagi bank (Surya
dan Yustiavandana, 2008: 85).
Prinsip keterbukaan sangat penting dilaksanakan,
karena mampu mencegah penyalahgunaan dana yang diberikan guna menghemat
pengeluaran dana jika terjadi penyimpangan. Pada akhirnya penerapan prinsip GCG
pada dunia perbankan berkaitan erat dengan penyaluran dana yang akan diberikan
bank kepada calon debitur dengan mengutamakan prinsip kehati-hatian (Surya dan Yustiavandana,
2008: 87).
Dengan
demikian, ketika bank menerapkan GCG maka tingkat pembiayaan bermasalah akan
semakin berkurang, karena adanya
penerapan prudential banking bank dalam menyalurkan dananya. Artinya jumlah
pembiayaan bermasalah yang terjadi di bank semakin menurun dengan penerapan
GCG. Berdasarkan uraian tersebut, maka hipotesis selanjutnya adalah:
H2= Kualitas penerapan GCG berpengaruh positif
terhadap rasio NPF
c.
Pengaruh penerapan GCC terhadap rasio ROA
Rasio Retrun on Assets
(ROA) adalah perbandingan laba sebelum pajak dengan rata-rata aktiva
produktifnya. Rasio ROA megukur kemampuan manajemen bank dalam menghasilkan
laba dari total aset yang dimiliki. ROA juga menggambarkan perputaran aktiva
yang diukur dari volume penjualan. Semakin besar ROA suatu bank, maka semakin
besar pula tingkat keuntungan yang dicapai dan semakin baik posisi bank dari
penggunaan aset (Rivai dan Arifin, 2010: 866).
Pada dasarnya manajemen perusahaan adalah roda usaha yang menggerakkan
perusahaan dalam mencari profit. Tugas manajemen yang paling utama adalah
menciptakan kinerja yang efektif dan efisien, sehingga terjadi peningkatan
kapabilitas sekaligus kelancaran keadaan finansial perusahaan. Keberhasilan tersebut dapat dicapai dengan adanya
penerapan prinsip-prinsip GCG secara mantap dan menyeluruh (Surya dan
Yustiavandana, 2008: 97). Hal senada diungkapkan oleh Riandi dan Siregar (2011:
128) mengatakan bahwa pelaksanaan mekanisme GCG pada dasarnya memiliki tujuan untuk
memberikan kemajuan terhadap kinerja suatu perusahaan, salah satu diantaranya
adalah profitabilitas perusahaan. Dengan demikian, pelaksanaan prinsip- prinsip
GCG mampu meningkatkan profitabilitas perusahaan karena keberhasilan kinerja
yang dicapai. Berdasarkan uraian tersebut, maka hipotesis ketiga yang diajukan
adalah:
H3 = Kualitas penerapan GCG
berpengaruh positif terhadap rasio ROA.
d.
Pengaruh penerapan GCG terhadap rasio ROE
Rasio Retrun on Equity (ROE) adalah perbandingan laba bersih setelah
pajak dengan modal sendiri (equity). Rasio ROE merupakan indikator yang amat
penting bagi para pemegang saham dan calon investor untuk mengukur kemampuan
bank dalam memperoleh laba bersih yang dikaitkan dengan pembayaran deviden. Semakin
besar rasio ini menunjukkan kemampuan modal disetor bank dalam menghasilkan
laba pemegang saham semakin besar (Zamani dan Moeljadi, 2012: 6).
Rasio ROE sangat berkaitan
erat dengan kepentingan para pemegang saham. Filosofi dasar yang dipegang oleh
para pemegang saham saat menanamkan modalnya pada sebuah perusahaan adalah
untuk mendapatkan keuntungan secara maksimal. Salah satu cara untuk memperoleh
keuntungan (laba) maksimal adalah melalui pengelolaan usaha yang baik, karena
pemegang saham memiliki keterbatasan dalam mengelola perusahaan, sehingga pihak
manajemen perusahaan (pengelola) harus
menerapkan prinsip transparansi dalam melaporkan semua kegiatan perusahaan.
Dengan demikian, implementasi GCG memegang peranan penting, sebagai saran untuk
mengukur kinerja perusahaan dengan baik (Surya dan Yustiavandana, 2008: 70).
Secara
teori penerapan GCG mengurangi konflik keagenan antara pemegang saham dan
pengelola perusahaan. Karena adanya monitoring yang mengawasi pihak pengelola
perusahaan untuk membatasi kepentingan untuk menguntungkan diri sendiri.
Sehingga, dapat meningkatkan kinerja perusahaan sekaligus kepercayaan para pemegang
saham (pemilik bank) (Dewayanto,
2010: 107).
Santoso
(2008) Sulistiyowati dkk. (2010) menyebutkan bahwa tata kelola
perusahaan yang baik merupakan bentuk perlindungan investor terhadap rasio
pembayaran deviden. Terdapat korelasi yang kuat antara penerapan GCG dengan
kepentingan para pemegang saham untuk memperoleh keuntunganyang maksimal.
Penerapan GCG berdampak pada meningkatnya laba (deviden) yang dihasilkan
perusahaan, sehingga
devidenyang dibagikan kepada para
pemegang saham meningkat pula.
Berdasarkan uraian tersebut, maka hipotesis kelima yang diajukan adalah:
H4
= Kualitas penerapan GCG berpengaruh positifterhadap rasio ROE.
e.
Pengaruh penerapan GCG terhadap rasio NIM
Rasio
Net IncomeMargin (NIM) adalah perbandingan pendapatan bersih terhadap
rata-rata aktiva produktif. Dalam bank
syariah pendapatan bank berupa bagi hasil yang diperoleh bank selama
beroperasi. Rasio ini merupakan indikator yang digunakan untuk mengukur
manajemen bank dalam mengelola aktiva produktifnya untuk mendapatkan bagi hasil
bersih (Surat Edaran Bank Indonesia, 2007: 21).
Secara teoritis manfaat yang ingin didapat
dari penerapan GCG adalah meningkatnya kinerja perusahaan melalui terciptanya
proses keputusan yang dan operasional perusahaan yang lebih baik (Wahananto,
2009: 16). Dalam bank syariah terdapat proses ALMA (Aset and Liability
Management) yaitu perencanaan, pengorganisasian, dan pengawasan untuk mengendalikan aktiva dan pasifa secara terpadu
guna meningkatkan pendapatan atau income bank (Karim, 2010: 452). Kemudian,
adanya Komite Audit dalam perbankan yang bertugas untuk mengawasi proses
pelaporan keuangan oleh pihak pengelola bank, sehingga laporan keuangan lebih
informatif dan berkualitas. Pengawasan ini, mendorong manajemen bank untuk
mengelola keuangan lebih baik, sehingga pada akhirnya mampu meningkatkan laba perusahaan (Putri, 2010: 4). Diterapkannya prinsip-prinsip GCG akan
memperbesar kemampuan perusahan untuk meningkatkan pendapatan bank. Dengan
demikian, pelaksanaan prinsip-prinsip GCG mampu
meningkatkan pendapatan bersih perusahaan, karena adanya efisiensi dan efektifitas dalam mengelola perusahaan. Berdasarkan
penjelasan tersebut, maka hipotesis kelima yang
diajukan adalah:
H5
= Kualitas penerapan GCG berpengaruh positif terhadap rasio NIM.
f.
Pengaruh penerapan GCG dan rasio FDR
Rasio Financing Deposit Ratio (FDR) adalah rasio perbandingan antara
jumlah pembiayaan yang disalurkan dengan total dana pihak ketiga yang
terkumpul. Rasio FDR digunakan untuk menilai kemampuan bank dalam memenuhi
kebutuhan likuiditas dan kecukupan menajemen risiko likuiditas. Bank dikatakan
likuid apabila mempunyai harta lancar lebih besar dari kewajibannya sehingga
mampu memenuhi kewajiban keuangannyajangka waktu pendek atau yang segera harus
dibayar (Tangkilisan, 2003: 151). Ketika bank tidak mampu menjaga tingkat
likuiditasnya, maka dapat menyebabkan krisis likuiditas yang tak dapat
dihindari bank, artinya adanya penurunan tingkat kepercayaan (trust) masyarakat
terhadap bank (Hardanto, 2010: 15).
Krisis kepercayaan
dengan adanya rush pada bank, dapat pulih kembali dengan beberapa cara antara lain meningkatkan kewaspadaan bank dan
pengawasan bank. Zarkasyi (2008: 112) mengatakan bahwa, salah satu cara untuk mengembalikan tingkat kepercayaan
masyarakat yaitu dengan penerapan prinsip-prinsip GCG pada perbankan.
Keberadaan prinsip GCG menjadi penting, karena prinsip ini akan membantu bank dalam menjalankan
prinsip yang telah ada dan mampu meningkatkan kepercayaan atau citra perbankan.
Dapat ditarik kesimpulan bahwa penerapan
prinsip-prinsip GCG pada akan
berpengaruh terhadap tingkat likuditas pada bank. Berdasarkan uraian diatas,
maka hipotesis terakhir yang diajukan adalah:
H6
= Kualitas penerapan GCG berpengaruh positif terhadap rasio FDR.
g.
Pengaruh penerapan GCG terhadap rasio BOPO
Rasio BOPO adalah perbandingan antara biaya operasional dengan pendapatan
operasional. Tujuannya rasio BOPO untuk mengukur efesiensi kegiatan operasional
bank syariah. Semakin kecil rasio biaya operasionalnya akan lebih baik, karena
biaya yang dikeluarkan lebih kecil dibandingkan pendapatan yang diterima (Surat
Edaran Bank Indonesia, 2007).
Menurut World Bank, good corporate governance
merupakan kumpulan hukum, perturan dan kaidah-kaidah yang wajib dipenuhi untuk
mendorong kinerja perusahaan agar bekerja lebih efisien. Sehingga, mampu menghasilkan
nilai ekonomi dalam jangka panjang berkesinambungan bagi para pemegang saham dan masyarakat sekitar
secara keseluruhan (Tangkilisan,2003:11). Pernyataan
lain dikemukakan oleh Forum for Corporate
Governance in Indonesia (FCGI) dalam Wahananto (2009: 15-16), mengatakan bahwa manfaat yang akan dirasakan perusahaan ketika
menerapakan prinsip GCG adalah meningkatkan kinerja perusahaan melalui
terciptanya proses keputusan yang lebih baik,
meningkatkan efisiensi operasional
perusahaan serta lebih meningkatkan
pelayanan kepada stakeholders. Berdasarkan uraian tersebut,
dapat disimpulkan bahwa penerapan
GCG mampu meningkatkan efisiensi operasional perusahaan, termasuk didalamnya adalah efisiensi biaya
operasional yang dikeluarkan oleh perusahaan
dalam kegiatannya. Artinya ada pengaruh yang kuat antara implementasi GCG
dengan tingkat efisiensi operasional perusahaan. Penelitian yang dilakukan Purba (2011) menunjukkan bahwa skor penerapan GCG pada 30 perusahaan perbankan konvensional yang terdaftar pada Bursa Efek Indonesia berpengaruh positif dan signifikan terhadap rasio BOPO. Sesuai penjelasan
tersebut, maka hipotesis terakhir yang diajukan adalah:
H7 =
Kualitas penerapan GCG berpengaruh positif terhadap rasio BOPO.
METODE
PENELITIAN
Jenis
Penelitian
Menurut metodenya, jenis penelitian
ini adalah penelitian yang bersifat asosiatif yaitu adanya hubungan atau
pengaruh variabel satu dengan lainnya. Dalam Sugiyono (2010: 36) yang
dimaksud asosiatif adalah menyatakan adanya hubungan antara dua variabel atau
lebih. Penelitian ini termasuk dalam jenis penelitian
eksplanatif asosiatif, dimana hubungan
antar variabel tersebut dirumuskan dalam hipotesis penelitian yang akan
diuji kebenarannya. Data Penelitian
Populasi dalam penelitian ini adalah Bank Umum Syariah
yang beroperasi dalam kurun waktu tahun 2010 sampai 2015. Sampel data diambil
dengan teknik purposive sampling, kriteria yang digunakan yaitu:
1.
Bank
telah beroperasi selama periode 2010-2015,
2.
Menerbitkan
laporan tahunan periode 2010-2015,
3.
Bank
menerbitkan laporan pelaksanaan GCG selama 2010- 2015 yang mengacu pada
Peraturan Bank Indonesia (PBI) dan Surat Edaran Bank Indonesi (SE BI),
yaitu:PBI Nomor 11/33/PBI/2009 tentang
Pelaksanaan GCG bagi Bank Umum Syariah dan Unit Usaha Syariah dan SE BI No.
12/13/DPbS tanggal 30 April 2010, perihal Pelaksanaan GCG bagi Bank Umum
Syariah dan Unit Usaha Syariah.
Penelitian ini menggunakan data sekunder dari laporan tahunan dan laporan
pelaksanaan good corporate governance bank umum syariah yang telah
dipublikasikan secara resmi oleh masing-masing bank. Diperoleh 10 sampel
penelitian dari 11 populasi bank umum syariah yang ada di Indonesia
Metode Analisis Data
Analisis data dalam penelitian ini menggunakan bantuan program SPSS (Statistic Product &
Services Solution) versi 20.0. Sebelum melakukan uji hipotesis, terlebih dahulu
dilakukan uji asumsi klasik. Uji asumsi klasik yang terdiri dari uji
normalitas, uji autokorelasi, dan uji heteroskedastisitas.
Uji normalitas digunakan untuk melihat apakah
model regresi variabel terikat dan variabel bebas telah menyebar dengan normal
atau tidak. Uji normalitas dengan Kolmogorov Smirnov (Uji K-S), dimana tingkat
signifikansi > 0,05, maka data terdistribusi dengan normal. Uji autokorelasi
menguji apakah dalam model regresi linier ada korelasi antara kesalahan
pengganggu antara periode t dengan kesalahan pengganggu pada periode t-1
(sebelumnya). Model regresi yang baik mensyaratkan tidak adanya masalah
autokorelasi yaitu varian sampel tidak dapat menggambarkan varian populasinya (Priyatno,
2009: 75). Untuk mendeteksi ada tidaknya autokorelasi digunakan uji
Durbin-Watson, jika nilai D-W antara -2 sampai 2 maka tidak terjadi gejala autokorelasi.
Uji heteroskedastisitas, keadaan dimana
terjadinya ketidaksamaan varian dari residual pada model regresi. Syarat model
regresi yang baik adalah tidak adanya heteroskedastisitas, karena ini
menyebabkan penaksiran menjadi tidak efisien dan nilai koefisien determinasi
menjadi sangat tinggi (Priyatno, 2010: 83). Mendeteksinya dengan uji Spearman’s
Rho. Jika, nilai siginifikani >0.05 maka pada model ini tidak terjadi
masalah heteroskedastisitas (Priyatno, 2010: 84).
Pengujian Hipotesis
Uji t digunakan untuk mengetahui
pengaruh variable independen terhadap variabel dependen secara individual atau
parsial dalam menerangkan variabel dependen. Dalam bukunya Ghozali (2012: 99)
pengambilan keputusan dengan membandingkan hasil uji t hitung dengan t tabel
dan melihat nilai signifikansi (α: 5%), yaitu jika nilai t hitung > t tabel
maka Ha diterima, artinya variabel independen berpengaruh terhadap variabel
dependen secara parsial dan sebaliknya. Jika nilai probabilitas (nilai
signifikansi) ≤0.05 jadi H0ditolak, maka
variabel independen berpengaruh terhadap variabel dependen.
HASIL DAN PEMBAHASAN
Hasil
Uji Asumsi Klasik
Hasil uji normalitas pada table 3 dibawah menunjukkan bahwa data (N=60)
yang digunakan terdistribusi secara normal, karena nilai signifikansi lebih
besar dari 0.05.Tabel 3 menunjukkan bahwa nilai durbin- watson antara -2 sampai
+2, artinya tidak terjadi gejala autokorelasi pada model regresi yang
digunakan.Tabel 3 dibawah menunjukkan tingkat signifikansi > dari 0.05,
artinya tidak terjadi gejala heterokedastisitas.
Tabel 3
Hasil Uji Asunsi Klasik
Uji
K-S
|
Nilai
Sig.
|
Ket.
|
Uji
D-W
|
Nilai Sig.
Sperman Rho’
|
1.682
|
0.097
|
Normal
|
1.531
|
0.098 > 0.05
|
0.602
|
0.861
|
Normal
|
0.709
|
0.073 > 0.05
|
1.756
|
0.064
|
Normal
|
1.318
|
0.780 > 0.05
|
1.046
|
0.224
|
Normal
|
1.034
|
0.148 > 0.05
|
0.736
|
0.650
|
Normal
|
0.855
|
0.624 > 0.05
|
1.728
|
0.105
|
Normal
|
0.804
|
0.115 > 0.05
|
1.742
|
0.125
|
Normal
|
1.514
|
0.222 > 0.05
|
Kualitas
penerapan Good Corporate Governance Bank Umum Syariah
Berdasarkan hasil pengamatan penulis dari laporan kualitas penerapan GCG,
terdapat 10 bank umum syariah yang dijadikan sampel penelitian yaitu: Bank
Muamalat Indonesia, Bank Syariah Mandiri, BNI Syariah, BCA Syariah, Bank
Bukopin Syariah, Bank Mega Syariah, Bank Victoria Syariah, Bank Panin Syariah,
MayBank Syariah & BRI Syariah. Hasilnya menunjukkan bahwa kualitas
penerapan GCG masuk dalam Peringkat 2, dimana nilai komposit antara 1.55 hingga
2.50. Hal ini menunjukkan bahwa penerapan
GCG pada bank umum syariah masuk dalam kategori “Baik”, artinya hasil penilaian
self assessment penerapan GCG pada BUS sesuai dengan sebelas indikator yang
telah ditentukan Bank Indonesia dalam menilai kualitas penerapan GCG bagi BUS.
Penjelasan ini sekaligus menjawab rumusan masalah yang pertama, yaitu mengetahui bagaimana kualitas penerapan
GCG pada BUS di Indonesia.
Hasil Statistik Uji t
Uji
statistik t pada dasarnya menunjukkan seberapa jauh pengaruh variabel indepeden
terhadap variabel dependen secara parsial atau individu. Suatu variabel
independen berpengaruh secara signifikan jika nilai signifikansi hasil
perhitungan lebih kecil dari 0.05 dan nilai t hitung > t tabel. Hasil uji
statistik menunjukkan bahwa kualitas penerapan GCG berpengaruh positif
signifikan terhadap rasio CAR, NPF & BOPO. Kualitas penerapan GCG
berpengaruh negatif signifikan terhadap rasio ROA & ROE. Sedangkan,
kualitas penerapan GCG tidak berpengaruh terhadap rasio NIM & FDR, hal ini dapat
terlihat pada tabel dibawah:
Tabel 4
Hasil Uji t (Uji
Parsial)
Rasio
|
Uji t
|
Nilai Sig.
|
Ket.
|
CAR
|
2.123
|
0.038
< 0.05
|
Berpengaruh =
Positif & Signifikan
|
NPF
|
2.564
|
0.013
< 0.05
|
Berpengaruh =
Positif &
Signifikan
|
ROA
|
- 2.671
|
0.010
< 0.05
|
Berpengaruh =
Negatif & Signifikan
|
ROE
|
- 3.160
|
0.003
< 0.05
|
Berpengaruh =
Negatif & Signifikan
|
NIM
|
0.341
|
0.735
> 0.05
|
Tidak
Berpengaruh
|
FDR
|
1.643
|
0.106
> 0.05
|
Tidak
Berpengaruh
|
BOPO
|
2.233
|
0.029
< 0.05
|
Berpengaruh =
Positif &
Signifikan
|
Sumber: Hasil olah data, 2016
Pembahasan Hipotesis
1.
Hipotesis Pertama
Nilai
t hitung sebesar 2.123 dan tingkat
signifikansi 0.038, maka H1 terbukti. Artinya bahwa kualitas penerapan GCG
berpengaruh positif dan signifikan terhadap rasio CAR pada bank umum syariah.
Modal merupakan faktor yang penting bagi bank dalam rangka menciptakan usaha
yang sehat dan dapat menampung
risiko kerugian. Kualitas penerapan GCG memegang
peranan penting untuk menciptakan kinerja perusahaan yang baik, salah satu
dalam pengelolaan risiko yang lebih efektif. Menurut Forum for Corporate
Governance in Indonesia (2006) dalam Ratih
(2011), yang menyebutkan bahwa penerapan
GCG memudahkan untuk memperoleh modal,
sehingga berpengaruh baik terhadap kinerja keuangan. Hasil pengujian ini
menunjukkan bahwa kualitas yang baik dalam penerapan prinsip- prinsip GCG
mampu menciptakan pengelolaan risiko yang lebih efektif, pada akhirnya meningkatkan kecukupan modal dalam menyerap kerugian dan
pemenuhan modal minimumpada bank umum syariah.
Hasil penelitian ini konsisten dengan Zamani dan Moeljadi (2012) yang menunjukkan adanya pengaruh positif
signifikan terhadap rasio CAR setelah penerapan GCG pada PT. Bank BNI, hal
tersebut membuktikan adanya peningkatan kinerja setelah penerapan GCG terhadap
rasio CAR. Namun, hasil penelitian ini bertolak
belakang dengan penelitian Purba (2011) yang
mengungkapkan bahwa skor penerapan
GCG tidak berpengaruh signifikan terhadap rasio CAR, artinya skor
penerapan GCG bukan indikator yang mempengaruhi rasio CAR pada 30 perusahaan
perbankan yang terdaftar di Bursa Efek Indonesia.
2.
Hipotesis Kedua
Nilai
t hitung sebesar 2.564 dan tingkat
signifikansi sebesar 0.013, maka H2 terbukti. Hasilnya menunjukkan kualitas penerapan GCG berpengaruh positif
signifikan rasio NPF pada bank umum syariah.
Bank merupakan lembaga yang mengutamakan prudential principle dalam menyalurkan
dananya dan adanya evaluasi berkala terhadap pengelolaan risiko yang terjadi
guna meminimalkan tingkat pembiayaan bermasalah. Peraturan Bank Indonesia dalam
penerapan GCG mewajibkan BUS memiliki Komite Manajemen Risiko dan Satuan Manajemen
Risiko yang secara teori dapat mengurangi risiko pembiayaan
yang timbul. Diperkuat dengan adanya
fungsi audit intern dan ekstern yang
turut mengurangi risiko pembiayaan
pada BUS (Syam dan Nadja, 2012).
Hasil
penelitian rupanya sejalan dengan teori yang ada, dimana kualitas penerapan GCG berpengaruh terhadap rasio NPF. Artinya
indikator yang ditetapkan Bank Indonesia dalam implementasi GCG mampu mengurangi
pembiayaan bermasalah yang timbul
pada BUS. Hasil penelitian tidak konsisten dengan penelitian Syam dan Nadja
(2012) mengatakan bahwa kualiats penerapan GCG berpengaruh negatif dan
signifikan terhadap rasio NPF pada bank umum
syariah. Perbedaan tersebut terjadi diduga karena Syam dan Nadja (2012)
menggunakan satu periode pengamatan tahun 2010 pada tujuh BUS. Sedangkan, dalam
penelitian ini data yang digunakan cukup konsisten selama enam tahun berturut-turut dengan 10 sampel BUS.
3.
Hipotesis Ketiga
Nilai
t hitung sebesar -2.671 dan tingkat
signifikansi sebesar 0.010, maka H3 tidak terbukti. Hasil penelitian
menunjukkan kualitas penerapan GCG ternyata berpengaruh negatif signifikan
terhadap rasio ROA. Rasio ROA menunjukkan seberapa banyak laba bersih yang bisa diperoleh dari
kekayaan yang dimiliki perusahaan dan menunjukkan kemampuan perusahaan untuk menghasilkan profit. Pelaksanaan
mekanisme GCG yang baik menyebabkan perusahaan
mampu meningkatkan aset yang dimiliki. Pengelolaan yang baik mampu mendorong
efektivitas penggunaan aktiva perusahaan dan meningkatkan kemampuan bank dalam
memperoleh laba bersih, sehingga mampu menaikkan rasio profitabilitas
perusahaan (Ratih, 2011: 21).
Hasil
penelitian tidak sejalan dengan
teori yang ada, hal ini diduga karena indikator penerapan GCG yang ditetapkan
BI cenderung bersifat jangka panjang
terhadap tingkat pengembalian atau return on
assets bank. Dimana peraturan BI tentang GCG bagi bank syariah baru efektif
berlaku pada tahun 2010. Banyak BUS
yang spin off pada 2010, sehingga perolehan laba dan aset yang dimiliki bank belum mencapai standar yang ditentukan.Pernyataan
lainnya dikemukakan oleh Center for International Private Enterprise (2002) dalam Syam dan Nadja (2012) mengemukakan bahwa kegagalan penerapan GCG pada industri perbankan di negara berkembang termasuk di Indonesia,
karena penerapan GCG belum diterapkan
secara masif. Artinya walaupun internal bank telah
menerapkan prinisip GCG, namun pihak
esternal belum sepenuhnya menerapkan
GCG. Sedangkan, BUS dalam sistem pembiayaan mengadopsi model revenue sharing dimana tingkat
pengembalian ditentukan oleh kinerja nasabahnya. Maka secara langsung tinggi-
rendahnya tingkat pengembalian yang dicapai nasabah akan menentukan
tinggi-rendahnya tingkat
pengembalian pada BUS.
4.
Hipotesis Keempat
Nilai t
hitung sebesar -3.160 dan tingkat signifikansi sebesar 0.003 maka H4 tidak
terbukti. Hasil penelitian justru menunjukkan kualitas GCG ternyata berpengaruh
negatif signifikan terhadap rasio ROE. Rasio ROE sangat berkaitan erat dengan
kepentingan para pemegang saham. Prinsip dasar yang dipegang oleh para pemegang
saham saat menanamkan modalnya adalah untuk mendapatkan keuntungan secara
maksimal. Pemegang saham tentunya memiliki keterbatasan dalam mengelola
perusahaan, sehingga pihak manajemen (pengelola) harus menerapkan prinsip
transparansi dalam melaporkan semua kegiatan perusahaan. Hal ini akan
mengurangi konflik keagenan antara pemegang saham dan pengelola perusahaan,
karena adanya monitoring yang mengawasi pihak pengelola perusahaan guna
membatasi kepentingan pribadi (Dewayanto, 2010: 107). Pada akhirnya, dapat
disimpulkan bahwa penerapan GCG berpengaruh kuat pada peningkatan deviden
perusahaan, sehingga deviden yang dibagikan kepada seluruh para pemegang saham
lebih tinggi.
Hasil
penelitian tidak sejalan dengan teori yang ada, dimana kualitas penerapan GCG
memiliki pengaruh negatifterhadap rasio ROE pada BUS. Artinya kualitas
penerapan GCG yang semakin baik akan menurunkan rasio Return On Equity.
Penurunan ini terjadi karena tingkat rasio ROE yang dihasilkan rendah, didukung
dengan market share bank syariah masih dalam kisaran 4-5% secara nasional.
Sehingga, penerapan GCG belum berdampak positif terhadap return on equity bank.
Hasil riset lainnya dalam Bursa Efek Indonesia (Sulistiyowati dkk, 2010),
faktor lain diduga turut mempengaruhi kebijakan deviden yaitu perusahaan yang
tercatat di Indonesia sebagian besar masih bersifat kekeluargaan, sehingga
kemungkinan adanya konflik keuntungan dan
kepentingan sepihak yang mengesampingkan hak pemegang saham minoritas
kemungkinan besar bisa terjadi.
Hasil
penelitian sejalan dengan penelitian Purba (2011) yang menyatakan bahwa
penerapan GCG berpengaruh negatif dan signifikan terhadap rasio ROE pada 30
perusahaan perbankan yang terdaftar dalam Bursa Efek Indonesia. Namun, hasil
penelitian tersebut tidak sesuai dengan Riandi dan Siregar (2012), Supatmi (2007), Sayidah (2007), dan Agnita
(2011) yang menunjukkan bahwa prinsip-prinsip GCG tidak berpengaruh ROE pada
perusahaan.
5.
Hipotesis Kelima
Nilai t
hitung sebesar 0.341 dan tingkat signifikansi sebesar 0.735, maka H5 tidak
terbukti. Kualitas penerapan GCG tidak berpengaruh terhadap rasio NIM. Secara
teoritis manfaat yang ingin didapat dari penerapan GCG adalah
meningkatnya kinerja perusahaan melalui terciptanya keputusan yang lebih baik
dan operasional perusahaan yang lebih
baik. Adanya proses ALMA (Aset and Liability Management) dalam perbankan syariah yang merencanakan dan mengawasi pengelolaan aktiva dan pasifa secara
terpadu turut meningkatkan pendapatan atau income bank. Disisi lain adanya
pengawasan Komite Audit dalam proses pelaporan keuangan oleh pihak pengelola
bank, mampu mendorong manajemen bank untuk mengelola keuangan lebih baik dan
meningkatkan pendapatan
perusahaan (Putri, 2010: 4).
Dengan
demikian, pelaksanaan prinsip-prinsip GCG mampu meningkatkan pendapatan bersih
perusahaan, karena adanya efektifitas dalam mengelola perusahaan. Hasil
penelitian tidak sejalan dengan teori yang ada, dimana kualitas penerapan GCG
tidak berpengaruh terhadap NIM. Hal ini bisa disebabkan oleh beberapa hal
diantaranya tingkat NIM yang rendah dan bervariasi antara bank satu dengan bank
lainnya. Bank belum maksimal menerapkan prinsip GCG dalam seluruh kegiatan
bank. Hasil tersebut rupanya sejalan dengan penelitian Purba (2011) menyatakan
bahwa penerapan GCG tidak berpengaruh terhadap rasio NIM pada 30 perusahaan
perbankan yang terdaftar di Bursa Efek Indonesia.
6.
Hipotesis Keenam
Nilai t
hitung 1.643 dan tingkat signifikansi 0.106, maka H6 tidak terbukti. Kualitas
penerapan GCG tidak berpengaruh terhadap rasio FDR pada bank umum syariah.
Secara teoritis penerapan GCG mampu meningkatkan kepercayaan nasabah untuk
menyalurkan dananya atau melakukan pembiayaan di bank. Rasio FDR digunakan
untuk menilai kemampuan bank dalam memenuhi kebutuhan likuiditas dan kecukupan
menajemen risiko likuiditas. Ketika bank tidak mampu menjaga tingkat
likuiditasnya, maka menyebabkan krisis likuiditas yang tak dapat dihindari
bank. Artinya ada penurunan tingkat kepercayaan (trust) masyarakat terhadap
bank. Untuk memulihkan kembali kepercayaan terhadap bank, salah satunya dengan
penerapan prinsip- prinsip GCG pada perbankan (Zarkasyi, 2008: 112).
Hasil
penelitian sejalan dengan penelitian Purba (2011) yang menyatakan bahwa
penerapan GCG tidak berpengaruh terhadap rasio LDR pada 30 perbankan
konvensional yang terdaftar di Bursa Efek Indonesia. Kualitas GCG rupanya tidak
berpengaruh terhadap FDR dan LDR pada bank syariah maupun bank konvensional.
Tata kelola perusahaan yang baik belum mampu meningkatkan jumlah
pembiayaan yang disalurkan kepada
masyarakat.
7.
Hipotesis Ketujuh
Nilai t
hitung sebesar 2.233 dan tingkat signifikansi 0.029, maka H7 terbukti. Artinya
kualitas penerapan GCG berpengaruh positif signifikan terhadap rasio BOPO pada
bank umum syariah.Rasio BOPO adalah perbandingan antara biaya operasional
dengan pendapatan operasional. Tujuan rasio BOPO untuk mengukur efesiensi
kegiatan operasional bank. Pada dasarnya implementasi good corporate governance
mendorong kinerja perusahaan agar bekerja lebih efisien, termasuk di dalamnya
meningkatkan efisiensi operasional kegiatan perusahaan, sehingga menghasilkan
nilai ekonomi dalam jangka panjang, dan
berkesinambungan bagi para pemegang saham serta masyarakat secara keseluruhan
(Tangkilisan, 2003:11).
Hasil
penelitian menunjukkan bahwa kualitas penerapan GCG berpengaruh positif dan
signifikan terhadap rasio BOPO. Implementasi GCG yang baik akan
berpengruh terhadap peningkatan efisiensi kegiatan operasional pada bank umum
syariah. Hal ini sejalan dengan hasil penelitian yang dilakukan oleh Purba
(2011) yang menunjukkan bahwa skor penerapan GCG pada 30 perusahaan perbankan
berpengaruh positif signifikan terhadap rasio BOPO.
PENUTUP
Kesimpulan
1.
Kualitas
penerapan GCG sesuai hasil pengamatan
memiliki rata-rata nilai komposit
sebesar 1.55-2.20 yang masuk kedalam kategori
“Baik” atau peringkat kedua. Artinya
kualitas penerapan GCG pada BUS telah sesuai dengan 11 indikator yang telah ditetapkan Bank Indonesia melalui peraturan No. 11/33/PBI/2009 mengenai pelaksanaan Good Corporate Governance bagi Bank Umum Syariah.
2.
Secara parsial
pengaruh kualitas GCG terhadap
kinerja keuangan, disimpulkan sebagai berikut:
a.
Kualitas
penerapan GCG berpengaruh positif signifikan terhadap CAR.
b.
Kualitas
penerapan GCG berpengaruh positif signifikan terhadap NPF.
c.
Kualitas
penerapan GCG berpengaruh negatif signifikan terhadap ROA.
d.
Kualitas penerapan GCG berpengaruh negatif signifikan terhadap ROE.
e.
Kualitas
penerapan GCG tidak berpengaruh terhadap NIM.
f.
Kualitas
penerapan GCG tidak berpengaruh terhadap FDR.
g.
Kualitas
penerapan GCG berpengaruh positif signifikan terhadap BOPO.
Dapat disimpulkan, berdasarkan hasil
penelitian tersebut menunjukkan bahwa H1, H2, dan H 7 terbukti, sedangkan H3,
H4, H5, dan H6 tidak terbukti.
Saran
Tentunya
sebuah penelitian ingin memberikan kontribusi bagi objek penelitian atau
pengembangan ilmu pengetahuan secara umum. Berdasarkan hasil penelitian yang
telah dilakukan, diharapkan bank umum syariah mampu mempertahankan prestasi
yang telah dicapai dalam penerapan good
corporate governance. Penerapan GCG bisa terlaksana lebih baik untuk periode
selanjutnya guna meningkatkan performa bank baik dari aspek operasional atau
aspek keuangan khususnya dalam peningkatan profitabilitas bank umum syariah.
Serta bank syariah dapat meningkatkan ROE,
agar tingkat kepercayaan terhadap investor akan semakin tinggi.
Keterbatasan
Dalam sebuah penelitian tentunya terdapat keterbatasan penelitian. Hal
ini dapat dijadikan bahan pertimbangan bagi peneliti selanjutnya untuk lebih
mengembangkannya.
1.
Variabel
independen yang digunakan dalam penelitian ini hanya kualitas penerapan GCG.
Diharapkan untuk penelitian selanjutnya bisa menambah jumlah variabel
independen yang secara teoritis bisa mempengaruhi kinerja keuangan.
2.
Penerapan
GCG tidak hanya berlaku pada bank umum syariah, namun seluruh bank umum telah
menerapkan aturan ini di Indonesia. Pada peneliti selanjutnya bisa membandingkan
bagaimana penerapan GCG dari aspek syariah dan konvensional.
Komentar
Posting Komentar